Bunyi
Supragmental, Bunyi Pengiring, Diftong, Kluster, dan Silaba
Diajukan
Sebagai Syarat untuk Melengkapi Tugas Mata
Kuliah
Fonologi
Dosen
Pengampu : Sugeng Subraja, S.Pd
Disusun
Oleh:
Debby
Nurhayati
Ratih
Endang
Suryani
Nouze
Riki
Arif
Kelas
: B
Semester II
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
STKIP
SINGKAWANG
2013
Kata
Pengantar
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat karunia-NYA kami mampu
menyelesaikan makalah ini. Makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
akan bahan ajar dan dalam kehidupan sehari-hari. Sesuai dengan judulnya makalah
ini diperuntukan untuk mahasiswa disetiap jurusan manapun dan dalam kebutuhan
saya dalam menyelesaikan tugas fonologi tersebut.
Pada
makalah ini sengaja dibuat agak sedikit sederhana dan praktis dimaksudkan agar
lebih mudah dalam penyajiannya serta dapat secara efektif mencapai tujuan
pembelajaran yang dimaksud. Mahasiswa dapat mengembangkan sendiri pengalaman
dan pendapatnya dalam menyikapi segala hal-hal yang berkenaan dengan fonologi
dengan berpatokan tujuan dan materi pembelajaran yang ada.
Demikian,
semoga bermanfaat. Kritik dan saran yang konstruktif atau membangun sangat kami
harapkan untuk kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang
Singkawang,
16 April 2013
Tim
Penyusun
Daftar Isi
Kata
Pengantar................................................................................................. i
Daftar
isi........................................................................................................... ii
BAB
I Pendahuluan
A. Latar
Belakang Masalah....................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah................................................................................. 2
C. Tujuan................................................................................................... 2
D. Manfaat................................................................................................ 2
BAB
II Pembahasan
A. Bunyi
Supragmental............................................................................. 3
B. Bunyi
Pengiring.................................................................................... 6
C. Diftong................................................................................................. 7
D. Kluster.................................................................................................. 13
E. Silaba.................................................................................................... 14
BAB
III Penutupan
A. Kesimpulan........................................................................................... 16
B. Saran..................................................................................................... 17
Daftar
Pustaka.................................................................................................. 18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keseharian manusia seantero jagad raya ini tak pernah lepas
dengan yang namanya bunyi. Bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia itu
disebut bunyi bahasa. Sekalipun setiap saat mereka menghasilkan bunyi bahasa dari
alat ucap mereka sendiri, namun tidak semuanya mengetahui seluk-beluk mengenai
bunyi bahasa tersebut. Seluk-beluk bunyi bahasa yang dimaksud meliputi,
bagaimana proses terjadinya bunyi, bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan,
dan masih banyak hal-hal lain yang termasuk di dalamnya.
Perlu kita ketahui bersama bahwa sumber energi utama dalam
hal terjadinya bunyi bahasa adalah adanya udara dari paru-paru. Udara dihisap
ke dalam paru-paru dan dihembuskan keluar bersama-sama ketika sedang bernafas.
Udara yang dihembuskan (atau dihisap untuk sebagian kecil bunyi bahasa) itu
kemudian mendapatkan hambatan diberbagai tempat alat bicara dengan berbagai
cara, sehingga terjadilah bunyi-bunyi bahasa. Sedangkan, untuk
pengklasifikasian bunyi bahasa terdiri dari beberapa bagian termasuk di dalamya
adalah vokal. Kata “vokal” berasal dari kata dalam bahasa Latin “vocalis”, yang
berarti berbicara, karena dalam kebanyakan bahasa, pembicaraan tidak mungkin
dilakukan tanpanya. Suatu bunyi disebut vokal, bila dalam proses terjadinya
tidak ada hambatan pada alat bicara, jadi tidak ada artikulasi. Hambatan untuk
bunyi vokal hanya pada pita suara. Hambatan yang hanya terjadi pada pita suara
tidak lazim disebut artikulasi. Karena vokal dihasilkan dengan hambatan pita
suara, maka pita suara bergetar. Glotis dalam keadaan tertutup tetapi tidak
rapat sekali, sehingga dapat disebut bahwa semua vokal adalah bunyi bersuara.
Dalam kehidupan
sosialnya,manusia saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain.Dalam
hal ini perlu adanya komunikasi.Kebutuhan berkomunikasi itu semakin kompleks
seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia.
B. Rumusan Masalah
Setelah
kami mengkaji latar belakang masalah yang kami angkat terdapat beberapa
permasalahan sebagai suatu kajian dari pembuatan makalah ini yakni diantaranya
:
1. Pengertian
bunyi supragmental berserta penjelasannya?
2. Pengertian
bunyi pengiring berserta penjelasannya?
3. Pengertian
diftong berserta penjelasannya ?
4. Pengertian
kluster berserta pernjelasannya ?
5. Pengertian
Silaba berserta penjelasannya ?
C. Tujuan
1. Agar
kita mengetahui apa itu bunyi supragmental, pengiring, diftong, kluster, dan
silaba.
2. Agar
kita menambah wawasan kita seputar bidang tersebut..
D. Manfaat
1. Dapat
dijadikan sebagai wawasan dan pengetahuan untuk kehidupan sehari-hari dalam
menjalankan pendidikan di bidang formal maupun nonforma. Juga dapat
dipraktekkan di kedua lingkungan tersebut agar dapat bermanfaat bagi kita dan
orang lain. Kta dakan lebih fasih dan lancar dalam menggunakan ilmu yang
mencakup bidag ini.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Bunyi
Supragmental
Bunyi
suprasegmental adalah bunyi-bunyi bahasa ketika diucapkan ada yang bisa
disegmen-segmenkan bunyi vokoid dan kontoid.oleh para fonetisi,bunyi
suprasegmental ini dikelompokkan menjadi empat jenis,yaitu yang menyangkut
aspek tinggi-rendah bunyi (nada) , keras-lemah bunyi(tekanan), panjang-pendek
bunyi(tempo) dan kesenyapan(jeda).
1.Tinggi-Rendah(Nada,Tona,Pitch)
Bunyi-bunyi
segmental diucapkan selalu melibatkan nada,baik nada tinggi,sedang atau rendah.Hal ini disebabkan oleh
adanya faktor ketegangan pita suara,arus suara dan posisi suara ketika bunyi
itu diucapkan yang disebabkan oleh kenaikan arus udara dari paru-paru,makin
tinggi pula nada bunyi tersebut.Begitu juga,posisi pita suara.Pita suara yang
bergetar lebih cepat akan menentukan tinggi nada suara ketika berfonasi.
Variasi-variasi nada pembeda disebut intonasi,yang ditandai
dengan[II]untuk intonasi datar turun,yang biasa terdapat dalam kalimat
berita(deklaratif),[//] untuk intonasi datar naik,yang biasa terdapat dalam
kalimat Tanya dan [==]untuk intonasi datar tinggi,yang biasa terdapat dalam
kalimat perintah.
Contoh dalam bahasa Indonesia:
[satell]
Sate. ‘pemberitahuan bahwa ada sate’
[sate//] Sate?
‘menanyakan tentang sate’
[sate==]
Sate!‘memanggil penjual sate’
2.Keras-Lemah(Tekanan,Aksen,Stress)
Ketika bunyi-bunyi segmental diucapkan
pun tidak pernah lepas dari keras atau lemahnya bunyi.Hal ini disebabkan oleh
keterlibatan energi otot ketika bunyi itu diucapkan.Suatu bunyi dikatakan
mendapatkan tekanan apabila energi otot yang dikeluarkan lebih besar ketika
bunyi itu diucapkan.Sebaliknya,suatu bunyi dikatakan tidak mendapatkan tekanan
apabila energi otot yang dikeluarkan lebih kecil ketika bunyi itu diucapkan.
Variasi tekanan bisa dikelompokkan
menjadi empat yaitu:tekanan keras yang ditandai dengan[‘],tekanan sedang yang
ditandai dengan[-],tekanan lemah yang ditandai dengan[ˋ]Tidak ada tekanan yang
ditandai dengan tanda akritik.Pada tataran kata,tekanan selalu bersifat
silabis,yaitu tekanan yang diarahkan pada silaba tertentu.Pada tataran
kalimat,tekanan bersifat leksis,yaitu tekanan yang diarahkan pada kata tertentu
yang ingin ditonjolkan.
Pada tataran kata,tekanan pada suku kata
tertentu juga bisa membedakan makna,Misalnya:
Belanda:dόόrlopen
tekanan pada silaba I ‘berjalan terus’
doorlpόen tekanan pada silaba II ‘menempatkan’
Inggris: rẻfuse
tekanan pada silaba I ‘sampah’
refủse
tekanan pada silaba II
‘menolak’
Batak
Toba: sỉmbur tekanan pada silaba I ‘hujan rintik’
simbủr
tekanan pada silaba II ‘cepat
besar’
Pada tataran kalimat,tekanan kata
tertentu bisa membedakan maksud kalimat.Misalnya,dalam kalimat bahasa Indonesia
berikut:
a.Saya membeli buku.(tekanan pada saya)
Maksudnya:Yang
membeli buku adalah saya,bukan kamu atau dia.
b.
Saya membeli buku.(tekanan pada membeli)
Maksudnya:
Saya benar-benar membeli,bukan mencuri buku.
c.Saya membeli buku.(tekanan pada buku)
Maksudnya:
Yang Saya beli memang buku bukan yang
lain.
3.Panjang-Pendek (Durasi,Duration)
Bunyi-bunyi segmental juga dapat
dibedakan dari panjang pendeknya ketika bunyi itu diucapkan.Bunyi panjang untuk
vokoid diberi tanda satuan mora,yaitu
satuan waktu pengucapan,dengan tanda titik.Tanda titik satu[.]menandakan satu
mora,tanda titik dua[:]menandakan dua mora dan tanda titik[:.]menandakan tiga
mora.Sementara itu bunyi-bunyi untuk kontoid diberi tanda rangkap,dengan
istilah geminat.
Dalam bahasa-bahasa tertentu variasi panjang pendek bunyi ini ternyata bisa
membedakan makna(sebagai fonem),bahkan bermakna(sebagai morfem)
Misalnya:
Belanda:[ban]
‘kucil’ Vokoid panjang
[ba:n] ‘jalan’ membedakan makna atau
fonemis
Tagalog:[kaibi:gan]
‘teman’Vokoid panjang
[kai:bigan] ‘kekasih’membedakan makna
atau fonemis
Bugis:[mapeje]
‘asin’ kontoid panjang mempunyai makna
[mappeje] ‘membuat garam kontoid panjang
mempunyai makna/morfemis
Arab:
[habibi] ‘kekasih’kontoid panjang
[habibi:]
‘kekasih’kontoid panjang mempunyai makna/morfemis
4.KESENYAPAN(JEDA,JUNCTURE)
Penghentian adalah pemutusan suatu arus
bunyi-bunyi segmental ketika diujarkan oleh penutur.Kesenyapan bisa berada di
posisi awal,tengah,dan akhir ujaran.Kesenyapan awal terjadi ketika bunyi itu
diujarkan,misalnya ketika akan diujarkan kalimat Ini buku terjadi kesenyapan yang tak terbatas sebelumnya.Kesenyapan
tengah terjadi antara ucapan kata-kata dalam kalimat,misalnya antara ucapan
kata ini dan buku pada ini buku.ucapan antarsuku kata,misalnya
antara suku kata i dan ni pada kata ini,walaupun kesenyapan itu sangkat singkat.kesenyapan akhir
terjadi pada akhir ujaran,misalnya ujaran akhir kalimat Ini buku terjadi kesenyapan yang tak terbats sesudahnya.
Kesenyapan awal dan akhir ujaran
ditandai dengan palang rangkap memanjang[#],kesenyapan di antara kata ditandai
dengan palang rangkap pendek[#],sedangkan kesenyapan di antara suku kata
ditandai dengan palang tunggal[+].Dengan demikian,kalimat Ini buku kalau
ditranskripsikan dengan memperhatikan kesenyapan terlihat sebagai berikut.
a.[#i+ni#bu+ku#]
b.Kesenyapan
juga bisa disebut sendi(juncture)
karena kesenyapan itu sekaligus merupakan tanda batas antara bentuk-bentuk
linguistik baik dalam tataran kalimat,klausa,frase,kata,morfem,silaba maupun
fonem.
B.BUNYI PENGIRING
Bunyi pengiring adalah bunyi yang ikut
serta muncul ketika bunyi utama dihasilkan.Hal ini disebabkan oleh ikut
sertanya alat-alat ucap lain ketika alat ucap pembentuk bunyi utama
difungsikan.Oleh karena itu,ada yang mengistilahkan koartikulasi atau artikulasi
sertaan,yaitu pengucapan dua bunyi yang berurutan secara tumpang-tindih
yang kualitasnya berbeda dari deretan bunyi yang diucapkan secara normal atau
sempurna.
Bunyi-bunyi
sertaan atau pengiring ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a.Bunyi
ejektif,yaitu bunyi sertaan yang
dihasilkan dengan cara glotis ditutup sebelum dan sewaktu bunyi utama
diucapkan,sehingga ketika glotis dibuka terdengar bunyi global[V].
b.Bunyi
klik,yaitu bunyi sertaan yang
dihasilkan dengan cara lidah belakng menempel rapat pada velum sebelum dan
sewaktu bunyi utama diucapkan,sehingga ketika penempelan pada velum dilepas
terdengar bunyi [Kk]
c.Bunyi
aspriasi,yaitu bunyi sertaan yang
dihasilkan dengan cara arus udara yang keluar lewat mulut terlalu keras
sehingga terdengar bunyi[Kh]
d.Bunyi
eksplosif(bunyi lepas),yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara arus
udara dilepaskan kembali setelah dihambat total.lawannya adalah bunyi
implosif(bunyi tak lepas)
e.Bunyi
retrofleksi,yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara ujung lidah ditarik
ke belakang[Kr]
f.Bunyi
labialisasi,yaitu bunyi sertaan yang di hasilkan dengan cara kedua bibir
dibulatkan dan disempitkan segera/ketika bunyi utama diucapkan.
g.
Bunyi palatalisasi,yaitu sertaan yang dihasilkan dengan cara lidah tengah
dinaikkan mendekati langit-langit keras(palatum) segera/ketika diucapkan
sehingga terdengar bunyi[Ky].
h.Bunyi
glotalisasi,yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara glotis ditutup
sesudah bunyi utama diucapkan sehingga terdengar bunyi[V]
i.Bunyi
nasalisasi,yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cra memberikan kesempatan
arus udara melalui rongga hidung sebelum/sesaat artikulasi bunyi utama.
C. Diftong
Selama berbicara mengenai vokal, tak lengkap rasanya jika
tak membahas mengenai diftong. Marsono mengatakan dalam bukunya yang
berjudul Fonetik (2008:19) cetakan ke enam, bahwa diftong termasuk dalam
pengklasifikasian bunyi rangkap. Bunyi rangkap adalah bunyi yang terdiri dari
dua bunyi dan terdapat dalam satu suku kata (silabel). Diftong itu sendiri
merupakan bunyi rangkap vokal. Diftong dalam bahasa Indonesia terdiri dari :
ai, au, dan oi. Ciri diftong yaitu waktu diucapkan posisi lidah yang satu
dengan yang lain saling berbeda. Perbedaan itu menyangkut tinggi rendahnya
lidah, bagian lidah yang bergerak, serta strikturnya. Pendapat tersebut sama
halnya dengan yang diungkapkan pada tahun 2006 dan 1999 yang merupakan cetakan
ke lima dan ke empat. Selama tiga tahun itu merupakan wajah baru dari terbitan
tahun-tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 1993, 1989, dan 1986 yang merupakan
cetakan ke tiga, ke dua dan pertama. Wajah baru bukanlah bermakna pada
perubahan mengenai isi buku pada umumnya dan diftong pada khususnya, melainkan
tampilan baru dari buku itu dan juga perbaikan atas kesalahan cetak. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa Marsono mengungkapkan pendapat mengenai
diftong seperti yang terurai di atas sejak tahun 1986.
Marsono mendefinisikan diftong dengan pendapat yang singkat,
yaitu bunyi rangkap vokal. Contoh diftong misalnya: landai, aurat, boikot, dll.
Definisi tersebut sebenarnya dapat diperjelas bahwa diftong merupakan bunyi
rangkap vokal yang diujarkan secara berterusan dalam satu hembusan nafas.
Didefinisikan demikian, karena bunyi diftong dapat dihasilkan apabila bunyi
satu vokal menggeluncur dengan cepatnya ke suatu vokal lain yang mengikutinya.
Ungkapan bunyi rangkap vokal dapat juga diartikan sebagai bukan diftong,
seperti pada kata dimulai, disukai, dihargai, dan lain-lain. Vokal “ai” pada
kata tersebut merupakan huruf vokal rangkap atau deret vokal. Huruf vokal “i”
dalam gandengan “ai” itu adalah akhiran “i”. Oleh sebab itu, gugus “ai” dalam
suku kata akhir perkataan-perkataan tersebut bukanlah diftong “ai”.
Dengan sedikit uraian tambahan mengenai diftong dan huruf
vokal rangkap tersebut, maka pendapat Marsono akan dapat dengan mudah ditangkap
oleh pembacanya. Jika pernyataan mengenai huruf vokal rangkap (deret vokal)
juga diuraikan maka tidak akan mendatangkan keambiguan penafsiran.
Berkaitan dengan pengkajian mengenai diftong yang diambil
dari sudut pandang Marsono, kita telah mengetahui bahwa keberadaan diftong
berkaitan erat dengan bunyi vokal dan bunyi rangkap. Diftong dalam bahasa
Indonesia itu dianggap sebagai satu suku kata yang dilambangkan oleh dua vokal
tetapi bertindak sebagai satu fonem.
Mengenai proses pengeluaran bunyi diftong, kita perlu
mengingat bahwa proses pengeluaran bunyi-bunyi bahasa, lidah merupakan alat
artikulasi (pertuturan) yang paling aktif dan penting. Untuk menghasilkan bunyi
diftong “ai”, lidah dalam keadaan sebagaimana membunyikan vokal “ai”, dan
secara cepat geluncurkan lidah ke arah membunyikan vokal “i” pula. Demikian
sama halnya dengan cara membunyikan vokal au, dan oi. Kedudukan lidah pada
keadaan membunyikan vokal yang ke dua.
Bunyi diftong dalam penerapannya terletak dalam satu
silabel, jika terdapat tatanan huruf vokal yang menyerupai diftong tetapi jika
diuraikan antara vokal yang satu dengan vokal yang mengikutinya berbeda silabel
maka bukanlah diftong. Misalnya :
· air → {a} {ir}
· ajaib → {a} {ja} {ib}
· daun → {da} {un}
Bahkan tak sedikit juga bentuk vokal rangkap tetapi bukan
diftong (deret vokal) yang diambil dari perkataan bahasa Arab, bahasa Inggris
dan bahasa Sansekerta. Misalnya : dualisme, teater, neurologi, ideologi, siuman
dan sebagainya.
Berdasarkan pendapat Marsono yang diungkapkan sejak tahun
1986 hingga tahun 2008, diftong dipandang sebagai bunyi vokal rangkap. Dalam
kurun waktu kurang lebih 28 tahun itu, dapat dikatakan tidak mengalami
perkembangan (statis). Padahal jika kita melihat pada Linguistik Modern,
pengertian diftong tidak digunakan lagi, karena tidak sesuai dengan hakekat
dari bunyi-bunyi tersebut. Bila kita secara tegas mencatat bunyi-bunyi tersebut
dengan mempergunakan prinsip-prinsip Linguistik Modern, maka ada yang hanya
berupa urutan-urutan konsonan-vokal. Secara fonetis kata-kata seperti :
· → [ramay]
· → [pulaw]
Dengan
bermodalkan penjelasan di atas, maka dapat digunakan untuk memberikan sedikit
masukan mengenai diftong dalam era saat ini.
Setelah membahas diftong seperti yang telah diuraikan di
atas, maka kita dapat mengetahui mana perkataan-perkataan yang termasuk diftong
dan bukan diftong (huruf vokal rangkap/deret vokal). Jika telah mengenal semua
itu, maka kita diharapkan dapat mengujarkan setiap perkataan secara benar dan
tepat.
Dalam tata bahasa tradisional, diftong adalah dua huruf
vokal yang merupakan satu bunyi dalam satu silabel. Posisi lidah ketika
mengucapkan bergeser ke atas atau ke bawah. Karena itu, dikenal adanya tiga
macam diftong, yaitu diftong naik, diftong turun, dan diftong memusat. Di dalam
bahasa Indonesia hanya ada diftong naik. Hampir semua pakar linguistik
mengatakan pendapat yang intinya seperti itu untuk kasus diftong. Namun, tidak
semua orang yang memandang diftong naik dan diftong turun itu dari posisi
lidah, melainkan dari sonoritasnya. Jika vokal ke dua sonoritasnya lebih
tinggi, maka disebut diftong naik. Begitu juga sebaliknya, jika sonoritasnya
lebih rendah, maka disebut diftong turun. Dengan catatan bahwa sonoritas adalah
kenyaringan bunyi, seperti bunyi vokal mempunyai sonoritas yang lebih tinggi
daripada konsonan di dalam satu silabel.
Berbicara mengenai diftong dalam bahasa Indonesia yang hanya
terdiri dari ai, au, dan oi, ada juga satu kata dalam bahasa Indonesia yang
dapat dibilang sebagai pengecualian, yaitu vokal rangkap “ui” pada kata “kuitansi”.
Vokal rangkap “ui”, jika dilihat dalam bagan vokal kardinal merupakan diftong
turun. Berarti sebenarnya vokal rangkap “ui” itu tidak termasuk dalam diftong
karena diftong turun hanya ada dalam bahasa Semende dan bahasa Jawa. Namun,
jika berdasarkan pemenggalannya, kata “kuitansi” dapat digolongkan ke dalam
diftong. Kata “kuitansi” itu tergolong diftong atau tidak bergantung dari
bagaimana penutur mengujarkan kata itu.
Kembali pada pokok pemikiran bahwa dalam tata bahasa
tradisional diftong adalah dua huruf vokal yang merupakan satu bunyi dalam satu
silabel. Pernyataan itu bertolak belakang dengan apa yang ada dalam Linguistik
Modern. Dalam Linguistik Modern menganggap bahwa diftong itu tidak ada. Yang
ada hanyalah gabungan dari sehuruf vokal dan sehuruf konsonan. Hal ini
berkaitan dengan pelafalan dari sepatah kata. Konsonan yang dimaksud bukanlah
konsonan yang seutuhnya, karena yang disebut konsonan sebagai pengganti vokal
ke dua itu adalah [y] dan [w]. [y] dan [w] itu termasuk semi vokal.
Dengan mengacu pada dua pernyataan yang berlawanan itu, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai jalan tengahnya bahwa keberadaan diftong dalam
bahasa Indonesia masih sangat diperlukan. Sebagaimana diftong adalah gabungan
dua huruf vokal yang merupakan satu bunyi dalam satu kali hembusan nafas. Hal
ini bertujuan agar tidak terjadi kerancuan ketika seseorang mengujarkan kata
yang dalam susunannya terdapat diftong ataupun deret vokal. Karena antara
diftong dan deret vokal sama-sama terdapat gabungan huruf vokalnya, hanya saja
jika diftong dalam satu silabel sedangkan deret vokal dalam silabel yang
berbeda. Berdasarkan pemenggalan kata, kita juga dapat mengetahui apakah kata
itu termasuk diftong atau tidak.
Diftong merupakan salah satu varian dari bunyi vokal. Dengan
penjelasan gabungan dua huruf vokal yang merupakan satu bunyi dalam satu kali
hembusan nafas. Contoh kata yang termasuk diftong dalam bahasa Indonesia,
yaitu:
· [ai] →
· [au] →
· [oi] →
Jika
dilakukan pemenggalan pada kata-kata di atas maka vokal rangkap itu berada
dalam satu silabel, misalnya:
· gulai → {gu} {lai}
· pulau → {pu} {lau}
· amboi → {am} {boi}
Di sisi lain diftong itu dianggap sebagai vokal rangkap
saja, karena yang dilihat adalah gabungan dua huruf vokal tanpa memperhatikan
bagaimana posisi huruf vokal itu ketika melalui proses pemenggalan kata.
Padahal belum tentu semua kata yang mengandung vokal rangkap itu termasuk
diftong. Hal ini terbukti pada beberapa kata, seperti:
· daun → {da} {un}
· kios → {ki} {os}
· air → {a} {ir}
Antara
huruf vokal yang pertama dengan huruf vokal yang ke dua terletak dalam beda
silabel. Itulah alasannya mengapa tidak semua vokal rangkap termasuk diftong.
Rasanya kita memang salah jika hanya menyebut diftong
sebagai vokal rangkap saja, karena seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa
sebenarnya itu sangatlah berbeda jika ditelaah secara lebih jauh. Antara
keduanya memang dapat ditarik benang merah yaitu vokal rangkap.
Dengan demikian sudah jelas bahwa diftong adalah salah satu
bentuk varian dari bunyi vokal yang terdiri dari gabungan dua huruf vokal yang
merupakan satu bunyi dalam satu kali hembusan nafas.
Setelah dijelaskan di atas bahwa diftong adalah salah satu
bentuk varian dari bunyi vokal yang terdiri dari gabungan dua huruf vokal yang
merupakan satu bunyi dalam satu kali hembusan nafas, maka kini sekarang dapat
ditelaah mengenai apa yang menjadi nilai plus dan minus dari pemikiran mengenai
diftong tersebut. Pendefinisian yang telah disebutkan di atas itu sudah
sangatlah jelas untuk dimengerti. Semua yang menjadi jati diri diftong telah
termuat dalam definisi tersebut. Sehingga tidak akan terjadi kesamaan paradigma
dalam memandang diftong dan deret vokal yang notabene sama-sama huruf huruf
vokal rangkap. Akan tetapi, telah kita ketahui bersama bahwa tidak ada sesuatu
di dunia ini yang sempurna. Begitu sama halnya dengan pernyataan mengenai
diftong itu. Meskipun hanya dari sepenggal frase namun pada kenyataannya akan
menjadi nilai minus. Hal itu terdapat dalam sepenggal frase satu bunyi. Kita
akan bertanya-tanya mengapa harus satu bunyi padahal kita tahu bahwa diftong
itu gabungan dari dua huruf vokal. Pertanyaan utamanya mengapa tidak dua bunyi.
Pertanyaan itu akan terjawab manakala kita ingat bahwa telah dijelaskan jika
diftong yang terdiri dari gabungan dua huruf itu bertindak sebagai satu fonem.
Oleh karena itu dinyatakan dengan satu bunyi. Itulah yang sebenarnya dimaksud
dari sepenggal frase satu bunyi.
Jika ditelaah lebih dalam, tidak semua gabungan dua huruf
vokal itu disebut diftong. Hal ini dikarenakan diftong dalam bahasa Indonesia
hanya terdiri dari ai, au, dan oi. Meskipun ada juga kata-kata yang tersusun
oleh dua gabungan huruf vokal tersebut, tetapi bukan termasuk diftong. Itulah
keunikan diftong, membuat orang berpikir terlebih dahulu sebelum menyatakan
apakah sepatah kata itu tersusun dari diftong atau hanya deret vokal.
Berdasarkan pada definisi mengenai diftong di atas, kini
saatnya kita melihat pada realita. Apakah memang sudah sinkron antara definisi
dengan penerapannya dalam sepatah kata (realita). Misalnya saja pada kata
“pulau” dan “daun”. Jika dilakukan pemenggalan pada kata “pulau” maka akan
menjadi {pu} {lau}. Berbeda halnya dengan kata “daun”, jika dilakukan
pemenggalan maka akan menjadi {da} {un}. Pemenggalan pada kata “pulau”,
gabungan huruf vokal “au” terletak dalam satu silabel, sedangkan pada kata
“daun”, gabungan huruf vokal “au” terletak dalam berbeda silabel. Meskipun
sama-sama gabungan huruf vokal “au” akan tetapi berbeda. Dari situlah kita akan
tahu mana kata yang merupakan diftong dan deret vokal. Jika terletak dalam satu
silabel maka itu adalah diftong, sedangkan jika terletak dalam beda silabel
maka itu adalah deret vokal.
Berdasarkan pada uraian di atas maka dapat dilakukan
pendefinisian ulang yang lebih detail mengenai diftong. Dengan demikian,
diftong adalah salah satu bentuk varian dari bunyi vokal yang terdiri dari
gabungan dua huruf vokal yang bertindak sebagai satu fonem dalam satu silabel
sehingga menghasilkan satu bunyi dalam satu kali hembusan nafas.
Bunyi rangkap adalah bunyi yang terdiri dari dua bunyi dan
terdapat dalam dua suku kata. Bunyi rangkap vokal disebut diftong. Ciri-ciri
diftong ialah waktu diucapkan posisi lidah yang satu dengan yang lain saling
berbeda (Jones, 1958:22). Perbedaan itu mencakup tinggi rendahnya lidah, bagian
lidah yang bergerak, serta strikturnya (jarak lidah dengan langit-langit).
Masalah
diftong/vokoid rangkap ini berhubungan dengan sonoritas/tingkat kenyaringan
suatu bunyi.Dalam praktiknya,bunyi diftong ini dua macam,yaitu(a)diftong menurun(falling
diphtong)dan(b)diftong menaik(rising diphtong)
1.Diftong
menurun vokoid(falling diphtong)adalah diftong yang ketika perangkapan bunyi
vokoid itu diucapkan,vokoid pertama bersonoritas,sedangkan vokoid kedua kurang
bersonoritas bahkan mengarah ke bunyi non vokoid.
Contoh:[pulaw] ‘pulau’ [sampay] ‘sampai’
[harimaw] ‘harimau’ [ramay] ‘ramai’
2.Diftong
menaik(rising diphtong)adalah diftong yang ketika perangkapan bunyi vokoid itu diucapkan,vokoid
pertama kurang/menurut sonoritasnya dan mengarah ke bunyi nonvokoid,sedangkan
vokoid kedua menguat sonoritasnya.
Contoh :[mwa] ‘moi
’ (bahasa Prancis)
[sabwa] ‘sebuah’(bahasa minang)
D. Kluster
Bunyi kluster/ konsonan rangkap(dua atau
lebih) merupakan bagian dari struktur fonetis atau fonotaktis yang disadari
oleh penuturnya.Oleh karena itu,pengucapan pun harus sesuai dengan struktur
fonetis tersebut.Sebab,kalau salah pengucapan akan berdampak pada pembedaan
makna.
Kluster dalam bahasa indonesia sebagai
akibat pengaruh stuktur fonetis unsur
serapan.Namun,pada umumnya kluster bahasa indonesia seputar kombinasi
berikut:
a.Jika
Kluster terdiri atas dua kontoid,yang berlaku adalah:
1)
kontoid pertama hanyalah sekitar [p],[b],[k]
2)
kontoid kedua hanyalah sekitar [l],[r],[w]
Contoh:
[p] pada [pleonasme] [gr] pada
[grafik’]
[b] pada [gamblan] [fr]
pada [frustasi]
[k] pada [klinik] [sr]
pada [pasrah]
Jika kluster terdiri atas tiga kontoid,yang
berlaku adalah:
-kontoid
pertama selalu[s]
-kontoid
kedua[t] atau[p]
-kontoid
ketiga [r] atau[l]
Contoh:[str]
pada [strategi]
[spr] pada
[sprinter]
[skr] pada [skripsi]
[skl] pada [sklerosis]
D.SILABA(SUKU
KATA)
Silaba atau suku kata adalah suatu
kenyaringan bunyi yang diikuti dengan satuan denyutan nada yang menyebabkan
udara keluar dari paru-paru.Untuk memahami tentang suku kata ini para linguis
atau fonetis berdasarkan pada dua teori,yaitu:(1)teori sonoritas dan (2)teori
prominans.
1.Teori
sonoritas menjelaskan bahwa suatu rangkaian bunyi bahasa diucapkan oleh penutur
selalu terdapat puncak-puncak kenyaringan(sonoritas) di antara bunyi-bunyi yang
diucapkan.Contoh:ucapan kata bahasa indonesia[mendaki] terdiri atas tiga puncak
kenyaringan.puncak kenyaringan adalah[ә]pada [mәn],[a] pada [da] dan [i] pada
[ki].Dengan demikian,kata[mәndaki] mempunyai tiga suku kata.Suku kata pertama
berupa bunyi sonor[ә]yang didahului kontoid[m] dan diikuti kontoid[n];suku kata
berupa bunyi sonor[a] yang didahului kontoid[d];dan suku kata ketiga berupa
bunyi sonor[i]yang didahului kontoid[k].
2.Teori
prominans menitikberatkan pada gabungan sonoritas dan ciri ciri suprasegmental,
terutama jeda (juncture). Ketika rangkaian
bunyi itu diucapkan,selain terdengar satuan kenyaringan bunyi,juga terasa
adanya jeda di antaranya,yaitu kesenyapan sebelum dan sesudah puncak
kenyaringan.Atas anjuran teori ini,batas di antara bunyi-bunyi puncak diberi
tanda tambah[+].Jadi kata tersebut terdiri atas tiga suku kata.
Berdasarkan teori sonoritas dan teori
prominans diketahui bahwa sebagian besar struktur kata terdiri atas satu bunyi
sonor yang berupa vokoid,baik tidak
didahului dan diikuti kontoid, didahului dan diikuti kontoid, didahului kontoid
saja.
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Bunyi
suprasegmental adalah bunyi-bunyi bahasa ketika diucapkan ada yang bisa
disegmen-segmenkan bunyi vokoid dan kontoid.oleh para fonetisi,bunyi
suprasegmental ini dikelompokkan menjadi empat jenis,yaitu yang menyangkut aspek
tinggi-rendah bunyi (nada) , keras-lemah bunyi(tekanan), panjang-pendek
bunyi(tempo) dan kesenyapan(jeda).
Bunyi pengiring adalah bunyi yang ikut
serta muncul ketika bunyi utama dihasilkan.Hal ini disebabkan oleh ikut
sertanya alat-alat ucap lain ketika alat ucap pembentuk bunyi utama
difungsikan.Oleh karena itu,ada yang mengistilahkan koartikulasi atau artikulasi
sertaan,yaitu pengucapan dua bunyi yang berurutan secara tumpang-tindih
yang kualitasnya berbeda dari deretan bunyi yang diucapkan secara normal atau
sempurna.
Diftong adalah vokal yang berubah kualiasnya. Dalam sistem
tulisan diftong biasa dilambangkan oleh dua huruf vokal. Kedua huruf vokal itu
tidak dapat dipisahkan
Bunyi kluster konsonan rangkap(dua atau
lebih) merupakan bagian dari struktur fonetis atau fonotaktis yang disadari
oleh penuturnya.Oleh karena itu,pengucapan pun harus sesuai dengan struktur
fonetis tersebut.Sebab,kalau salah pengucapan akan berdampak pada pembedaan
makna
Silaba atau suku kata adalah suatu
kenyaringan bunyi yang diikuti dengan satuan denyutan nada yang menyebabkan
udara keluar dari paru-paru
B. Saran
Diharapkan
kepada mahasiswa agar lebih mendalami dan lebih fasih terhadap kajian ini
karena kajian ini sangat membantu para mahasiswa dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat. Kajian ini sangat erat dengan proses suatu berkomunikasi antara
sesama, oleh karena itu kami himbau kepada semua jurusan aga mendalami imlu ini
agar lebih fasif berkata dan perkataannya dalam mengucapkan Bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Kepada masyarakat aga mengetahui dan mendalami kajian ini karena hidup
bermasyarakat sangat perlu suatu interaksi sosial yang berujung kepada suatu
berkomunikasi. Mendalami bidang ini karena masyarakat perlu menguasai Bahasa
Indonesia yaitu bahasa negaranya sendiri.