Selasa, 26 November 2013

Fonologi Bunyi



Bunyi Supragmental, Bunyi Pengiring, Diftong, Kluster, dan Silaba
Diajukan Sebagai Syarat untuk Melengkapi Tugas Mata  Kuliah
Fonologi
Dosen Pengampu : Sugeng Subraja, S.Pd

Disusun Oleh:
Debby
Nurhayati
Ratih
Endang
Suryani
Nouze
Riki
Arif

Kelas : B
Semester II


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
STKIP SINGKAWANG
2013
 

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat karunia-NYA kami mampu menyelesaikan makalah ini. Makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan akan bahan ajar dan dalam kehidupan sehari-hari. Sesuai dengan judulnya makalah ini diperuntukan untuk mahasiswa disetiap jurusan manapun dan dalam kebutuhan saya dalam menyelesaikan tugas fonologi tersebut.
Pada makalah ini sengaja dibuat agak sedikit sederhana dan praktis dimaksudkan agar lebih mudah dalam penyajiannya serta dapat secara efektif mencapai tujuan pembelajaran yang dimaksud. Mahasiswa dapat mengembangkan sendiri pengalaman dan pendapatnya dalam menyikapi segala hal-hal yang berkenaan dengan fonologi dengan berpatokan tujuan dan materi pembelajaran yang ada.
Demikian, semoga bermanfaat. Kritik dan saran yang konstruktif atau membangun sangat kami harapkan untuk kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang


Singkawang, 16 April 2013

Tim Penyusun

Daftar Isi

Kata Pengantar................................................................................................. i
Daftar isi........................................................................................................... ii
BAB I Pendahuluan
A.    Latar Belakang Masalah....................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah................................................................................. 2
C.     Tujuan................................................................................................... 2
D.    Manfaat................................................................................................ 2
BAB II Pembahasan
A.    Bunyi Supragmental............................................................................. 3
B.     Bunyi Pengiring.................................................................................... 6
C.     Diftong................................................................................................. 7
D.    Kluster.................................................................................................. 13
E.     Silaba.................................................................................................... 14
BAB III Penutupan
A.    Kesimpulan........................................................................................... 16
B.     Saran..................................................................................................... 17
Daftar Pustaka.................................................................................................. 18

BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang Masalah
Keseharian manusia seantero jagad raya ini tak pernah lepas dengan yang namanya bunyi. Bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia itu disebut bunyi bahasa. Sekalipun setiap saat mereka menghasilkan bunyi bahasa dari alat ucap mereka sendiri, namun tidak semuanya mengetahui seluk-beluk mengenai bunyi bahasa tersebut. Seluk-beluk bunyi bahasa yang dimaksud meliputi, bagaimana proses terjadinya bunyi, bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan, dan masih banyak hal-hal lain yang termasuk di dalamnya.
Perlu kita ketahui bersama bahwa sumber energi utama dalam hal terjadinya bunyi bahasa adalah adanya udara dari paru-paru. Udara dihisap ke dalam paru-paru dan dihembuskan keluar bersama-sama ketika sedang bernafas. Udara yang dihembuskan (atau dihisap untuk sebagian kecil bunyi bahasa) itu kemudian mendapatkan hambatan diberbagai tempat alat bicara dengan berbagai cara, sehingga terjadilah bunyi-bunyi bahasa. Sedangkan, untuk pengklasifikasian bunyi bahasa terdiri dari beberapa bagian termasuk di dalamya adalah vokal. Kata “vokal” berasal dari kata dalam bahasa Latin “vocalis”, yang berarti berbicara, karena dalam kebanyakan bahasa, pembicaraan tidak mungkin dilakukan tanpanya. Suatu bunyi disebut vokal, bila dalam proses terjadinya tidak ada hambatan pada alat bicara, jadi tidak ada artikulasi. Hambatan untuk bunyi vokal hanya pada pita suara. Hambatan yang hanya terjadi pada pita suara tidak lazim disebut artikulasi. Karena vokal dihasilkan dengan hambatan pita suara, maka pita suara bergetar. Glotis dalam keadaan tertutup tetapi tidak rapat sekali, sehingga dapat disebut bahwa semua vokal adalah bunyi bersuara.
Dalam kehidupan sosialnya,manusia saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain.Dalam hal ini perlu adanya komunikasi.Kebutuhan berkomunikasi itu semakin kompleks seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia.
B.  Rumusan Masalah
Setelah kami mengkaji latar belakang masalah yang kami angkat terdapat beberapa permasalahan sebagai suatu kajian dari pembuatan makalah ini yakni diantaranya :
1.    Pengertian bunyi supragmental berserta penjelasannya?
2.    Pengertian bunyi pengiring berserta penjelasannya?
3.    Pengertian diftong berserta penjelasannya ?
4.    Pengertian kluster berserta pernjelasannya ?
5.    Pengertian Silaba berserta penjelasannya ?

C.  Tujuan
1.    Agar kita mengetahui apa itu bunyi supragmental, pengiring, diftong, kluster, dan silaba.
2.    Agar kita menambah wawasan kita seputar bidang tersebut..

D.  Manfaat
1.    Dapat dijadikan sebagai wawasan dan pengetahuan untuk kehidupan sehari-hari dalam menjalankan pendidikan di bidang formal maupun nonforma. Juga dapat dipraktekkan di kedua lingkungan tersebut agar dapat bermanfaat bagi kita dan orang lain. Kta dakan lebih fasih dan lancar dalam menggunakan ilmu yang mencakup bidag ini.
 

BAB II
KAJIAN TEORI


A.      Bunyi Supragmental
Bunyi suprasegmental adalah bunyi-bunyi bahasa ketika diucapkan ada yang bisa disegmen-segmenkan bunyi vokoid dan kontoid.oleh para fonetisi,bunyi suprasegmental ini dikelompokkan menjadi empat jenis,yaitu yang menyangkut aspek tinggi-rendah bunyi (nada) , keras-lemah bunyi(tekanan), panjang-pendek bunyi(tempo) dan kesenyapan(jeda).
1.Tinggi-Rendah(Nada,Tona,Pitch)
Bunyi-bunyi segmental diucapkan selalu melibatkan nada,baik nada tinggi,sedang atau rendah.Hal ini disebabkan oleh adanya faktor ketegangan pita suara,arus suara dan posisi suara ketika bunyi itu diucapkan yang disebabkan oleh kenaikan arus udara dari paru-paru,makin tinggi pula nada bunyi tersebut.Begitu juga,posisi pita suara.Pita suara yang bergetar lebih cepat akan menentukan tinggi nada suara ketika berfonasi.
       Variasi-variasi nada pembeda disebut intonasi,yang ditandai dengan[II]untuk intonasi datar turun,yang biasa terdapat dalam kalimat berita(deklaratif),[//] untuk intonasi datar naik,yang biasa terdapat dalam kalimat Tanya dan [==]untuk intonasi datar tinggi,yang biasa terdapat dalam kalimat perintah.
Contoh dalam bahasa Indonesia:
[satell]    Sate. ‘pemberitahuan bahwa ada sate’
[sate//]   Sate? ‘menanyakan tentang sate’
[sate==]  Sate!‘memanggil penjual sate’

2.Keras-Lemah(Tekanan,Aksen,Stress)
       Ketika bunyi-bunyi segmental diucapkan pun tidak pernah lepas dari keras atau lemahnya bunyi.Hal ini disebabkan oleh keterlibatan energi otot ketika bunyi itu diucapkan.Suatu bunyi dikatakan mendapatkan tekanan apabila energi otot yang dikeluarkan lebih besar ketika bunyi itu diucapkan.Sebaliknya,suatu bunyi dikatakan tidak mendapatkan tekanan apabila energi otot yang dikeluarkan lebih kecil ketika bunyi itu diucapkan.
       Variasi tekanan bisa dikelompokkan menjadi empat yaitu:tekanan keras yang ditandai dengan[‘],tekanan sedang yang ditandai dengan[-],tekanan lemah yang ditandai dengan[ˋ]Tidak ada tekanan yang ditandai dengan tanda akritik.Pada tataran kata,tekanan selalu bersifat silabis,yaitu tekanan yang diarahkan pada silaba tertentu.Pada tataran kalimat,tekanan bersifat leksis,yaitu tekanan yang diarahkan pada kata tertentu yang ingin ditonjolkan.
       Pada tataran kata,tekanan pada suku kata tertentu juga bisa membedakan makna,Misalnya:
Belanda:dόόrlopen    tekanan pada silaba I   ‘berjalan terus’
doorlpόen    tekanan pada silaba II   ‘menempatkan’
Inggris:  rẻfuse   tekanan pada silaba I    ‘sampah’
refủse    tekanan pada silaba II    ‘menolak’
Batak Toba: sỉmbur   tekanan pada silaba I     ‘hujan rintik’
simbủr  tekanan pada silaba II    ‘cepat besar’
       Pada tataran kalimat,tekanan kata tertentu bisa membedakan maksud kalimat.Misalnya,dalam kalimat bahasa Indonesia berikut:
a.Saya membeli buku.(tekanan pada saya)
Maksudnya:Yang membeli buku adalah saya,bukan kamu atau dia.
b. Saya membeli buku.(tekanan pada membeli)
Maksudnya: Saya benar-benar membeli,bukan mencuri buku.
c.Saya membeli buku.(tekanan pada buku)
Maksudnya: Yang Saya beli memang buku bukan yang lain.
3.Panjang-Pendek (Durasi,Duration)
       Bunyi-bunyi segmental juga dapat dibedakan dari panjang pendeknya ketika bunyi itu diucapkan.Bunyi panjang untuk vokoid diberi tanda satuan mora,yaitu satuan waktu pengucapan,dengan tanda titik.Tanda titik satu[.]menandakan satu mora,tanda titik dua[:]menandakan dua mora dan tanda titik[:.]menandakan tiga mora.Sementara itu bunyi-bunyi untuk kontoid diberi tanda rangkap,dengan istilah geminat.
       Dalam bahasa-bahasa tertentu variasi panjang pendek bunyi ini ternyata bisa membedakan makna(sebagai fonem),bahkan bermakna(sebagai morfem)
Misalnya:
Belanda:[ban] ‘kucil’  Vokoid panjang
[ba:n] ‘jalan’ membedakan makna atau fonemis
Tagalog:[kaibi:gan] ‘teman’Vokoid panjang
[kai:bigan] ‘kekasih’membedakan makna atau fonemis
Bugis:[mapeje] ‘asin’ kontoid panjang mempunyai makna
[mappeje] ‘membuat garam kontoid panjang mempunyai    makna/morfemis    
Arab: [habibi] ‘kekasih’kontoid panjang
[habibi:] ‘kekasih’kontoid panjang mempunyai makna/morfemis

4.KESENYAPAN(JEDA,JUNCTURE)                                                                                 
Penghentian adalah pemutusan suatu arus bunyi-bunyi segmental ketika diujarkan oleh penutur.Kesenyapan bisa berada di posisi awal,tengah,dan akhir ujaran.Kesenyapan awal terjadi ketika bunyi itu diujarkan,misalnya ketika akan diujarkan kalimat Ini buku terjadi kesenyapan yang tak terbatas sebelumnya.Kesenyapan tengah terjadi antara ucapan kata-kata dalam kalimat,misalnya antara ucapan kata ini dan buku pada ini buku.ucapan antarsuku kata,misalnya antara suku kata i dan ni pada kata ini,walaupun kesenyapan itu sangkat singkat.kesenyapan akhir terjadi pada akhir ujaran,misalnya ujaran akhir kalimat Ini buku terjadi kesenyapan yang tak terbats sesudahnya.
Kesenyapan awal dan akhir ujaran ditandai dengan palang rangkap memanjang[#],kesenyapan di antara kata ditandai dengan palang rangkap pendek[#],sedangkan kesenyapan di antara suku kata ditandai dengan palang tunggal[+].Dengan demikian,kalimat Ini buku kalau ditranskripsikan dengan memperhatikan kesenyapan terlihat sebagai berikut.
a.[#i+ni#bu+ku#]
b.Kesenyapan juga bisa disebut sendi(juncture) karena kesenyapan itu sekaligus merupakan tanda batas antara bentuk-bentuk linguistik baik dalam tataran kalimat,klausa,frase,kata,morfem,silaba maupun fonem.
B.BUNYI PENGIRING
       Bunyi pengiring adalah bunyi yang ikut serta muncul ketika bunyi utama dihasilkan.Hal ini disebabkan oleh ikut sertanya alat-alat ucap lain ketika alat ucap pembentuk bunyi utama difungsikan.Oleh karena itu,ada yang mengistilahkan koartikulasi atau artikulasi sertaan,yaitu pengucapan dua bunyi yang berurutan secara tumpang-tindih yang kualitasnya berbeda dari deretan bunyi yang diucapkan secara normal atau sempurna.

Bunyi-bunyi sertaan atau pengiring ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a.Bunyi ejektif,yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara glotis ditutup sebelum dan sewaktu bunyi utama diucapkan,sehingga ketika glotis dibuka terdengar bunyi global[V].
b.Bunyi klik,yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara lidah belakng menempel rapat pada velum sebelum dan sewaktu bunyi utama diucapkan,sehingga ketika penempelan pada velum dilepas terdengar bunyi [Kk]
c.Bunyi aspriasi,yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara arus udara yang keluar lewat mulut terlalu keras sehingga terdengar bunyi[Kh]
d.Bunyi eksplosif(bunyi lepas),yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara arus udara dilepaskan kembali setelah dihambat total.lawannya adalah bunyi implosif(bunyi tak lepas)
e.Bunyi retrofleksi,yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara ujung lidah ditarik ke belakang[Kr]
f.Bunyi labialisasi,yaitu bunyi sertaan yang di hasilkan dengan cara kedua bibir dibulatkan dan disempitkan segera/ketika bunyi utama diucapkan.
g. Bunyi palatalisasi,yaitu sertaan yang dihasilkan dengan cara lidah tengah dinaikkan mendekati langit-langit keras(palatum) segera/ketika diucapkan sehingga terdengar bunyi[Ky].
h.Bunyi glotalisasi,yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara glotis ditutup sesudah bunyi utama diucapkan sehingga terdengar bunyi[V]
i.Bunyi nasalisasi,yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cra memberikan kesempatan arus udara melalui rongga hidung sebelum/sesaat artikulasi bunyi utama.


C. Diftong
Selama berbicara mengenai vokal, tak lengkap rasanya jika tak membahas mengenai diftong. Marsono mengatakan dalam bukunya yang berjudul Fonetik (2008:19) cetakan ke enam, bahwa diftong termasuk dalam pengklasifikasian bunyi rangkap. Bunyi rangkap adalah bunyi yang terdiri dari dua bunyi dan terdapat dalam satu suku kata (silabel). Diftong itu sendiri merupakan bunyi rangkap vokal. Diftong dalam bahasa Indonesia terdiri dari : ai, au, dan oi. Ciri diftong yaitu waktu diucapkan posisi lidah yang satu dengan yang lain saling berbeda. Perbedaan itu menyangkut tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, serta strikturnya. Pendapat tersebut sama halnya dengan yang diungkapkan pada tahun 2006 dan 1999 yang merupakan cetakan ke lima dan ke empat. Selama tiga tahun itu merupakan wajah baru dari terbitan tahun-tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 1993, 1989, dan 1986 yang merupakan cetakan ke tiga, ke dua dan pertama. Wajah baru bukanlah bermakna pada perubahan mengenai isi buku pada umumnya dan diftong pada khususnya, melainkan tampilan baru dari buku itu dan juga perbaikan atas kesalahan cetak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Marsono mengungkapkan pendapat mengenai diftong seperti yang terurai di atas sejak tahun 1986.
Marsono mendefinisikan diftong dengan pendapat yang singkat, yaitu bunyi rangkap vokal. Contoh diftong misalnya: landai, aurat, boikot, dll. Definisi tersebut sebenarnya dapat diperjelas bahwa diftong merupakan bunyi rangkap vokal yang diujarkan secara berterusan dalam satu hembusan nafas. Didefinisikan demikian, karena bunyi diftong dapat dihasilkan apabila bunyi satu vokal menggeluncur dengan cepatnya ke suatu vokal lain yang mengikutinya. Ungkapan bunyi rangkap vokal dapat juga diartikan sebagai bukan diftong, seperti pada kata dimulai, disukai, dihargai, dan lain-lain. Vokal “ai” pada kata tersebut merupakan huruf vokal rangkap atau deret vokal. Huruf vokal “i” dalam gandengan “ai” itu adalah akhiran “i”. Oleh sebab itu, gugus “ai” dalam suku kata akhir perkataan-perkataan tersebut bukanlah diftong “ai”.
Dengan sedikit uraian tambahan mengenai diftong dan huruf vokal rangkap tersebut, maka pendapat Marsono akan dapat dengan mudah ditangkap oleh pembacanya. Jika pernyataan mengenai huruf vokal rangkap (deret vokal) juga diuraikan maka tidak akan mendatangkan keambiguan penafsiran.
Berkaitan dengan pengkajian mengenai diftong yang diambil dari sudut pandang Marsono, kita telah mengetahui bahwa keberadaan diftong berkaitan erat dengan bunyi vokal dan bunyi rangkap. Diftong dalam bahasa Indonesia itu dianggap sebagai satu suku kata yang dilambangkan oleh dua vokal tetapi bertindak sebagai satu fonem.
Mengenai proses pengeluaran bunyi diftong, kita perlu mengingat bahwa proses pengeluaran bunyi-bunyi bahasa, lidah merupakan alat artikulasi (pertuturan) yang paling aktif dan penting. Untuk menghasilkan bunyi diftong “ai”, lidah dalam keadaan sebagaimana membunyikan vokal “ai”, dan secara cepat geluncurkan lidah ke arah membunyikan vokal “i” pula. Demikian sama halnya dengan cara membunyikan vokal au, dan oi. Kedudukan lidah pada keadaan membunyikan vokal yang ke dua.
Bunyi diftong dalam penerapannya terletak dalam satu silabel, jika terdapat tatanan huruf vokal yang menyerupai diftong tetapi jika diuraikan antara vokal yang satu dengan vokal yang mengikutinya berbeda silabel maka bukanlah diftong. Misalnya :
· air → {a} {ir}
· ajaib → {a} {ja} {ib}
· daun → {da} {un}


Bahkan tak sedikit juga bentuk vokal rangkap tetapi bukan diftong (deret vokal) yang diambil dari perkataan bahasa Arab, bahasa Inggris dan bahasa Sansekerta. Misalnya : dualisme, teater, neurologi, ideologi, siuman dan sebagainya.
Berdasarkan pendapat Marsono yang diungkapkan sejak tahun 1986 hingga tahun 2008, diftong dipandang sebagai bunyi vokal rangkap. Dalam kurun waktu kurang lebih 28 tahun itu, dapat dikatakan tidak mengalami perkembangan (statis). Padahal jika kita melihat pada Linguistik Modern, pengertian diftong tidak digunakan lagi, karena tidak sesuai dengan hakekat dari bunyi-bunyi tersebut. Bila kita secara tegas mencatat bunyi-bunyi tersebut dengan mempergunakan prinsip-prinsip Linguistik Modern, maka ada yang hanya berupa urutan-urutan konsonan-vokal. Secara fonetis kata-kata seperti :
· → [ramay]
· → [pulaw]
Dengan bermodalkan penjelasan di atas, maka dapat digunakan untuk memberikan sedikit masukan mengenai diftong dalam era saat ini.
Setelah membahas diftong seperti yang telah diuraikan di atas, maka kita dapat mengetahui mana perkataan-perkataan yang termasuk diftong dan bukan diftong (huruf vokal rangkap/deret vokal). Jika telah mengenal semua itu, maka kita diharapkan dapat mengujarkan setiap perkataan secara benar dan tepat.
Dalam tata bahasa tradisional, diftong adalah dua huruf vokal yang merupakan satu bunyi dalam satu silabel. Posisi lidah ketika mengucapkan bergeser ke atas atau ke bawah. Karena itu, dikenal adanya tiga macam diftong, yaitu diftong naik, diftong turun, dan diftong memusat. Di dalam bahasa Indonesia hanya ada diftong naik. Hampir semua pakar linguistik mengatakan pendapat yang intinya seperti itu untuk kasus diftong. Namun, tidak semua orang yang memandang diftong naik dan diftong turun itu dari posisi lidah, melainkan dari sonoritasnya. Jika vokal ke dua sonoritasnya lebih tinggi, maka disebut diftong naik. Begitu juga sebaliknya, jika sonoritasnya lebih rendah, maka disebut diftong turun. Dengan catatan bahwa sonoritas adalah kenyaringan bunyi, seperti bunyi vokal mempunyai sonoritas yang lebih tinggi daripada konsonan di dalam satu silabel.
Berbicara mengenai diftong dalam bahasa Indonesia yang hanya terdiri dari ai, au, dan oi, ada juga satu kata dalam bahasa Indonesia yang dapat dibilang sebagai pengecualian, yaitu vokal rangkap “ui” pada kata “kuitansi”. Vokal rangkap “ui”, jika dilihat dalam bagan vokal kardinal merupakan diftong turun. Berarti sebenarnya vokal rangkap “ui” itu tidak termasuk dalam diftong karena diftong turun hanya ada dalam bahasa Semende dan bahasa Jawa. Namun, jika berdasarkan pemenggalannya, kata “kuitansi” dapat digolongkan ke dalam diftong. Kata “kuitansi” itu tergolong diftong atau tidak bergantung dari bagaimana penutur mengujarkan kata itu.
Kembali pada pokok pemikiran bahwa dalam tata bahasa tradisional diftong adalah dua huruf vokal yang merupakan satu bunyi dalam satu silabel. Pernyataan itu bertolak belakang dengan apa yang ada dalam Linguistik Modern. Dalam Linguistik Modern menganggap bahwa diftong itu tidak ada. Yang ada hanyalah gabungan dari sehuruf vokal dan sehuruf konsonan. Hal ini berkaitan dengan pelafalan dari sepatah kata. Konsonan yang dimaksud bukanlah konsonan yang seutuhnya, karena yang disebut konsonan sebagai pengganti vokal ke dua itu adalah [y] dan [w]. [y] dan [w] itu termasuk semi vokal.
Dengan mengacu pada dua pernyataan yang berlawanan itu, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai jalan tengahnya bahwa keberadaan diftong dalam bahasa Indonesia masih sangat diperlukan. Sebagaimana diftong adalah gabungan dua huruf vokal yang merupakan satu bunyi dalam satu kali hembusan nafas. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kerancuan ketika seseorang mengujarkan kata yang dalam susunannya terdapat diftong ataupun deret vokal. Karena antara diftong dan deret vokal sama-sama terdapat gabungan huruf vokalnya, hanya saja jika diftong dalam satu silabel sedangkan deret vokal dalam silabel yang berbeda. Berdasarkan pemenggalan kata, kita juga dapat mengetahui apakah kata itu termasuk diftong atau tidak.
Diftong merupakan salah satu varian dari bunyi vokal. Dengan penjelasan gabungan dua huruf vokal yang merupakan satu bunyi dalam satu kali hembusan nafas. Contoh kata yang termasuk diftong dalam bahasa Indonesia, yaitu:
· [ai] →
· [au] →
· [oi] →
Jika dilakukan pemenggalan pada kata-kata di atas maka vokal rangkap itu berada dalam satu silabel, misalnya:
· gulai → {gu} {lai}
· pulau → {pu} {lau}
· amboi → {am} {boi}
Di sisi lain diftong itu dianggap sebagai vokal rangkap saja, karena yang dilihat adalah gabungan dua huruf vokal tanpa memperhatikan bagaimana posisi huruf vokal itu ketika melalui proses pemenggalan kata. Padahal belum tentu semua kata yang mengandung vokal rangkap itu termasuk diftong. Hal ini terbukti pada beberapa kata, seperti:
· daun → {da} {un}
· kios → {ki} {os}
· air → {a} {ir}
Antara huruf vokal yang pertama dengan huruf vokal yang ke dua terletak dalam beda silabel. Itulah alasannya mengapa tidak semua vokal rangkap termasuk diftong.
Rasanya kita memang salah jika hanya menyebut diftong sebagai vokal rangkap saja, karena seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa sebenarnya itu sangatlah berbeda jika ditelaah secara lebih jauh. Antara keduanya memang dapat ditarik benang merah yaitu vokal rangkap.
Dengan demikian sudah jelas bahwa diftong adalah salah satu bentuk varian dari bunyi vokal yang terdiri dari gabungan dua huruf vokal yang merupakan satu bunyi dalam satu kali hembusan nafas.
Setelah dijelaskan di atas bahwa diftong adalah salah satu bentuk varian dari bunyi vokal yang terdiri dari gabungan dua huruf vokal yang merupakan satu bunyi dalam satu kali hembusan nafas, maka kini sekarang dapat ditelaah mengenai apa yang menjadi nilai plus dan minus dari pemikiran mengenai diftong tersebut. Pendefinisian yang telah disebutkan di atas itu sudah sangatlah jelas untuk dimengerti. Semua yang menjadi jati diri diftong telah termuat dalam definisi tersebut. Sehingga tidak akan terjadi kesamaan paradigma dalam memandang diftong dan deret vokal yang notabene sama-sama huruf huruf vokal rangkap. Akan tetapi, telah kita ketahui bersama bahwa tidak ada sesuatu di dunia ini yang sempurna. Begitu sama halnya dengan pernyataan mengenai diftong itu. Meskipun hanya dari sepenggal frase namun pada kenyataannya akan menjadi nilai minus. Hal itu terdapat dalam sepenggal frase satu bunyi. Kita akan bertanya-tanya mengapa harus satu bunyi padahal kita tahu bahwa diftong itu gabungan dari dua huruf vokal. Pertanyaan utamanya mengapa tidak dua bunyi. Pertanyaan itu akan terjawab manakala kita ingat bahwa telah dijelaskan jika diftong yang terdiri dari gabungan dua huruf itu bertindak sebagai satu fonem. Oleh karena itu dinyatakan dengan satu bunyi. Itulah yang sebenarnya dimaksud dari sepenggal frase satu bunyi.
Jika ditelaah lebih dalam, tidak semua gabungan dua huruf vokal itu disebut diftong. Hal ini dikarenakan diftong dalam bahasa Indonesia hanya terdiri dari ai, au, dan oi. Meskipun ada juga kata-kata yang tersusun oleh dua gabungan huruf vokal tersebut, tetapi bukan termasuk diftong. Itulah keunikan diftong, membuat orang berpikir terlebih dahulu sebelum menyatakan apakah sepatah kata itu tersusun dari diftong atau hanya deret vokal.
Berdasarkan pada definisi mengenai diftong di atas, kini saatnya kita melihat pada realita. Apakah memang sudah sinkron antara definisi dengan penerapannya dalam sepatah kata (realita). Misalnya saja pada kata “pulau” dan “daun”. Jika dilakukan pemenggalan pada kata “pulau” maka akan menjadi {pu} {lau}. Berbeda halnya dengan kata “daun”, jika dilakukan pemenggalan maka akan menjadi {da} {un}. Pemenggalan pada kata “pulau”, gabungan huruf vokal “au” terletak dalam satu silabel, sedangkan pada kata “daun”, gabungan huruf vokal “au” terletak dalam berbeda silabel. Meskipun sama-sama gabungan huruf vokal “au” akan tetapi berbeda. Dari situlah kita akan tahu mana kata yang merupakan diftong dan deret vokal. Jika terletak dalam satu silabel maka itu adalah diftong, sedangkan jika terletak dalam beda silabel maka itu adalah deret vokal.
Berdasarkan pada uraian di atas maka dapat dilakukan pendefinisian ulang yang lebih detail mengenai diftong. Dengan demikian, diftong adalah salah satu bentuk varian dari bunyi vokal yang terdiri dari gabungan dua huruf vokal yang bertindak sebagai satu fonem dalam satu silabel sehingga menghasilkan satu bunyi dalam satu kali hembusan nafas.
Bunyi rangkap adalah bunyi yang terdiri dari dua bunyi dan terdapat dalam dua suku kata. Bunyi rangkap vokal disebut diftong. Ciri-ciri diftong ialah waktu diucapkan posisi lidah yang satu dengan yang lain saling berbeda (Jones, 1958:22). Perbedaan itu mencakup tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, serta strikturnya (jarak lidah dengan langit-langit).      
Masalah diftong/vokoid rangkap ini berhubungan dengan sonoritas/tingkat kenyaringan suatu bunyi.Dalam praktiknya,bunyi diftong ini dua macam,yaitu(a)diftong menurun(falling diphtong)dan(b)diftong menaik(rising diphtong)
1.Diftong menurun vokoid(falling diphtong)adalah diftong yang ketika perangkapan bunyi vokoid itu diucapkan,vokoid pertama bersonoritas,sedangkan vokoid kedua kurang bersonoritas bahkan mengarah ke bunyi non vokoid.
Contoh:[pulaw]           ‘pulau’         [sampay]      ‘sampai’  
               [harimaw]       ‘harimau’    [ramay]         ‘ramai’
2.Diftong menaik(rising diphtong)adalah diftong yang ketika perangkapan bunyi vokoid itu diucapkan,vokoid pertama kurang/menurut sonoritasnya dan mengarah ke bunyi nonvokoid,sedangkan vokoid kedua menguat sonoritasnya.
Contoh :[mwa]   ‘moi ’      (bahasa Prancis)
              [sabwa] ‘sebuah’(bahasa minang)
D. Kluster
       Bunyi kluster/ konsonan rangkap(dua atau lebih) merupakan bagian dari struktur fonetis atau fonotaktis yang disadari oleh penuturnya.Oleh karena itu,pengucapan pun harus sesuai dengan struktur fonetis tersebut.Sebab,kalau salah pengucapan akan berdampak pada pembedaan makna.
Kluster dalam bahasa indonesia sebagai akibat pengaruh stuktur fonetis unsur          serapan.Namun,pada umumnya kluster bahasa indonesia seputar kombinasi berikut:
a.Jika Kluster terdiri atas dua kontoid,yang berlaku adalah:
1) kontoid pertama hanyalah sekitar [p],[b],[k]
2) kontoid kedua hanyalah sekitar [l],[r],[w]
Contoh: [p] pada      [pleonasme] [gr]     pada     [grafik’]
[b] pada     [gamblan]     [fr]     pada     [frustasi]
[k] pada    [klinik]      [sr]     pada     [pasrah]
 Jika kluster terdiri atas tiga kontoid,yang berlaku adalah:
-kontoid pertama selalu[s]
-kontoid kedua[t] atau[p]
-kontoid ketiga [r] atau[l]
Contoh:[str] pada      [strategi]
 [spr] pada     [sprinter]
[skr] pada      [skripsi]
[skl] pada      [sklerosis]
D.SILABA(SUKU KATA)
Silaba atau suku kata adalah suatu kenyaringan bunyi yang diikuti dengan satuan denyutan nada yang menyebabkan udara keluar dari paru-paru.Untuk memahami tentang suku kata ini para linguis atau fonetis berdasarkan pada dua teori,yaitu:(1)teori sonoritas dan (2)teori prominans.
1.Teori sonoritas menjelaskan bahwa suatu rangkaian bunyi bahasa diucapkan oleh penutur selalu terdapat puncak-puncak kenyaringan(sonoritas) di antara bunyi-bunyi yang diucapkan.Contoh:ucapan kata bahasa indonesia[mendaki] terdiri atas tiga puncak kenyaringan.puncak kenyaringan adalah[ә]pada [mәn],[a] pada [da] dan [i] pada [ki].Dengan demikian,kata[mәndaki] mempunyai tiga suku kata.Suku kata pertama berupa bunyi sonor[ә]yang didahului kontoid[m] dan diikuti kontoid[n];suku kata berupa bunyi sonor[a] yang didahului kontoid[d];dan suku kata ketiga berupa bunyi sonor[i]yang didahului kontoid[k].
2.Teori prominans menitikberatkan pada gabungan sonoritas dan ciri ciri suprasegmental, terutama jeda (juncture). Ketika rangkaian bunyi itu diucapkan,selain terdengar satuan kenyaringan bunyi,juga terasa adanya jeda di antaranya,yaitu kesenyapan sebelum dan sesudah puncak kenyaringan.Atas anjuran teori ini,batas di antara bunyi-bunyi puncak diberi tanda tambah[+].Jadi kata tersebut terdiri atas tiga suku kata.
       Berdasarkan teori sonoritas dan teori prominans diketahui bahwa sebagian besar struktur kata terdiri atas satu bunyi sonor yang berupa vokoid,baik tidak didahului dan diikuti kontoid, didahului dan diikuti kontoid, didahului kontoid saja.




BAB III
PENUTUPAN


A.  Kesimpulan
Bunyi suprasegmental adalah bunyi-bunyi bahasa ketika diucapkan ada yang bisa disegmen-segmenkan bunyi vokoid dan kontoid.oleh para fonetisi,bunyi suprasegmental ini dikelompokkan menjadi empat jenis,yaitu yang menyangkut aspek tinggi-rendah bunyi (nada) , keras-lemah bunyi(tekanan), panjang-pendek bunyi(tempo) dan kesenyapan(jeda).
       Bunyi pengiring adalah bunyi yang ikut serta muncul ketika bunyi utama dihasilkan.Hal ini disebabkan oleh ikut sertanya alat-alat ucap lain ketika alat ucap pembentuk bunyi utama difungsikan.Oleh karena itu,ada yang mengistilahkan koartikulasi atau artikulasi sertaan,yaitu pengucapan dua bunyi yang berurutan secara tumpang-tindih yang kualitasnya berbeda dari deretan bunyi yang diucapkan secara normal atau sempurna.
       Diftong adalah vokal yang berubah kualiasnya. Dalam sistem tulisan diftong biasa dilambangkan oleh dua huruf vokal. Kedua huruf vokal itu tidak dapat dipisahkan
       Bunyi kluster konsonan rangkap(dua atau lebih) merupakan bagian dari struktur fonetis atau fonotaktis yang disadari oleh penuturnya.Oleh karena itu,pengucapan pun harus sesuai dengan struktur fonetis tersebut.Sebab,kalau salah pengucapan akan berdampak pada pembedaan makna
       Silaba atau suku kata adalah suatu kenyaringan bunyi yang diikuti dengan satuan denyutan nada yang menyebabkan udara keluar dari paru-paru




B.  Saran
Diharapkan kepada mahasiswa agar lebih mendalami dan lebih fasih terhadap kajian ini karena kajian ini sangat membantu para mahasiswa dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Kajian ini sangat erat dengan proses suatu berkomunikasi antara sesama, oleh karena itu kami himbau kepada semua jurusan aga mendalami imlu ini agar lebih fasif berkata dan perkataannya dalam mengucapkan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kepada masyarakat aga mengetahui  dan mendalami kajian ini karena hidup bermasyarakat sangat perlu suatu interaksi sosial yang berujung kepada suatu berkomunikasi. Mendalami bidang ini karena masyarakat perlu menguasai Bahasa Indonesia yaitu bahasa negaranya sendiri.